Sunday, May 29, 2005

A Cup of Java

Secangkir kopi merupakan hidangan ringan yang sangat umum di beberapa belahan dunia, baik dalam jamuan resmi atau sekedar duduk santai di bale-bale bambu. Bagi sebagian orang, secangkir kopi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari acara ngobrol.

Mungkin anda sudah tahu kalau di luar negeri secangkir copy kerap disebut a cup of java. Saya tidak tahu persis apakah mereka menyebutnya demikian karena kopinya sebagian berasal dari Jawa. Tapi yang terang memang ada kaitannya dengan kopi dari Jawa.

Kalau kita mencari di internet frase "a cup of java" maka mesin pencari mengaitkannya dengan bahasa pemrograman Java. Bahasa ini pun dinamakan demikian setelah tim pengembangnya pada suatu ketika membicarakan tentang penggantian nama bahasa tersebut di kedai kopi (coffee shop). Nama bahasa pemrograman itupun akhirnya diubah dari yang semula bernama Oak. Bagi sebagian orang ini terdengar aneh. Yah, kadang-kadang memang orang memilih nama dengan cara yang aneh. Saya pun bertanya-tanya dalam hati tentang asal usul nama bahasa C. Ternyata bahasa itu kelanjutan dari bahasa B.

Secangkir kopi tak jarang menjadi teman mencari inspirasi atau bahkan sumber inspirasi itu sendiri.

Pengisi Daya Nirkabel

Sekitar dua tahun yang lalu, saya membayangkan suatu saat orang akan membuat pengisi daya nirkabel (charger) dan sumber daya nirkabel. Wacana ini saya bicarakan dengan teman-teman dalam obrolan 'warung kopi' yang sering kami lakukan pada istrirahat makan siang atau di pelataran mesjid sebelum shalat. Teman-teman saya hanya tersenyum dan memberikan komentar singkat. Mungkin mereka sudah maklum saja karena saya seringkali membicarakan ide-ide 'gila' sambil setengah berguyon.

Pagi ini, pikiran tersebut terlintas lagi di benak saya. Sambil mengisap rokok (maaf, lupa disensor - merokok tidak baik untuk kesehatan) dan mendengarkan lantunan 'Dazed and Confused'-nya Led Zeppelin lewat Yahoo!LAUNCHcast Radio, saya buka Google dan mencari dengan kata kunci "wireless charger". Kejutan! (terjemahan dari kata Surprise!) ternyata sudah ada yang mewujudkan ide tersebut menjadi sebuah produk bahkan sejak 2002 (mungkin lebih awal lagi). Selain itu Edison GE bahkan sudah membuat PowerDesk yang bersifat masal. Ada juga produk yang disebut SplashPower yang mirip dengan PowerDesk. Meskipun tidak persis seperti yang saya bayangkan waktu itu namun paling tidak khayalan saya sudah diwujudkan oleh para ilmuwan di balik produk-produk tersebut.

Sebenarnya ada lagi produk khayalan yang ingin saya lihat yaitu flash disk dengan konektifitas bluetooth. Flash disk cukup dikalungkan di leher dengan kode pemasang (pairing) yang sudah kita isi sebelumnya. Kita tidak perlu mencolokkan flash disk tersebut ke USB. Sudah adakah produk seperti ini?

Monday, May 09, 2005

Bahasa Indonesia 'Tabrak Lari'

Tulisan ini bukan hujatan, bukan pula kecaman, hanya sebuah kesedihan
akan fenomena berbahasa yang menurut saya menyedihkan dan kerap menjadi bahan pemikiran saya. Dalam tulisan ini pula, saya tidak ingin menyalahkan siapapun, hanya mengungkapkan fenomena dan butuh masukan, apa yang perlu dibenahi bersama.

Saya selalu mengamati perkembangan bahasa Indonesia terutama masalah kosa kata yang berasal dari bahasa asing, meski banyak juga yang luput dari perhatian saya karena saya bukan praktisi bahasa. Dari dulu saya tertarik dengan bahasa namun tidak terlalu berminat untuk menjadikan bahasa sebagai pilihan bidang profesi. Bahasa saya anggap sebagai salah satu alat utama untuk berkomunikasi dan komunikasi ini mutlak terjadi dalam bidang profesi apapun.

Fenomena yang terjadi di masyarakat kita adalah penggunaan bahasa yang menurut saya kurang cermat. Penggunaan kata asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia mestinya bisa dihindari. Di berbagai bidang ilmu ini kerap terjadi. Yang paling sering adalah pada bidang teknologi dan ekonomi. Dalam tulisan ini saya ingin membahas yang berkenaan dengan bidang teknologi khususnya teknologi informasi.

Dalam konteks teknologi informasi, banyak sekali kata-kata Inggris yang sering kita ucapkan dalam penggunaan sehari-hari, meskipun cukup banyak di antaranya yang sudah ada padanan bahasa Indonesianya. Tidak digunakannya bentuk padanan Indonesianya ini, menurut saya, disebabkan dua faktor utama: (1) ketidaktahuan akan padanan tersebut dan (2) keengganan menggunakannya karena berbagai alasan. Faktor yang pertama disebabkan tidak adanya akses ke sumber padanan istilah. Penyebab ini semestinya bisa diatasi jika mau mencari sumber tersebut. Faktor yang kedua memiliki berbagai alasan di antaranya: (1) merasa canggung dengan istilah yang diindonesiakan karena memang sebagian tidak umum digunakan dan (2) merasa istilah dalam bahasa Inggrisnya lebih 'keren' diucapkan. Mestinya kita tidak perlu canggung menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi? Apakah kita menunggu orang asing yang menggunakannya?

Dalam Panduan Pembakuan Istilah, Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 2 tahun 2001 tentang Penggunaan Komputer Dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia(sumber:http://vlsm.org/etc/baku-0.txt), terdapat senarai padanan istilah yang bisa kita gunakan. Meskipun ada beberapa hal yang perlu kita cermati bersama, misalnya:
1. cache memory padanannya memori tembolok, memori singgahan
catatan: ada dua padanan, mengapa tidak ditetapkan salah satu saja? Jika memang ada dua penafsiran untuk dua kondisi yang berbeda tentu tidak jadi masalah
2. IP (identification personal) address padanannya alamat PI (personal
identifikasi)
catatan: setahu saya, IP merupakan singkatan dari Internet Protocol dan mestinya diterjemahkan sebagai Protokol Internet.

Terlepas dari beberapa permasalahan tersebut (dua di antaranya saya kutip dan beri catatan di atas), sebagian besar padanan istilah tersebut bisa kita gunakan. Tetapi memang menggunakannya gampang-gampang susah karena istilah komputer lebih akrab versi Inggrisnya untuk didengar. Sebagai contoh, saya pernah meminta kertas pada seseorang untuk mencetak suatu berkas. "Bisa minta kertas? Saya mau mencetak..." kata saya pada orang tersebut (maaf, ada bagian yang disamarkan menyangkut masalah etika karena ini kisah nyata)."Nyetak?" melihat dia bertanya balik dengan muka bingung maka saya katakan "Ngeprint". "O, ngeprint, kenapa bapak nggak bilang dari tadi?" katanya sambil tersenyum dan memberikan beberapa lembar kertas. Ternyata bagi orang tersebut istilah "ngeprint" lebih bermakna konotatif daripada "mencetak" untuk kasus mencetak dari komputer. Dalam bahasa lisan, kata "ngeprint" tersebut tidak salah namun ada baiknya kita membiasakan menggunakan padanannya.

Ada satu lagi fenomena kekurangcermatan berbahasa yang menurut istilah saya adalah "bahasa tabrak lari". Fenomena yang saya maksudkan adalah mencampuradukkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Fenomena ini kerap terjadi baik pada forum formal maupun non formal. Bahkan, dalam tatap muka kegiatan berlajar mengajar di perguruan tinggipun hal ini kerap terjadi. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam konteks teknologi informasi.

Masyarakat umum cenderung untuk mencontoh dalam berbahasa. Apa yang didengar dan dibaca dari buku dan media massa biasanya ditiru. Mestinya kondisi ini bisa dimanfaatkan para penulis buku dan artikel di media cetak untuk mendidik masyarakat dalam penggunaan istilah ini. Jika istilah tersebut sering dibaca, tentu tidak akan menjadi sesuatu yang asing lagi. Sebagai contoh ketika istilah "privatisasi" muncul dan media massa memuatnya dalam berita di media elektronik dan cetak, dalam waktu sebentar saja istilah itu sudah akrab terdengar. Padahal, sebelumnya sudah ada istilah "swastanisasi" yang memiliki arti yang sama (dan terlupakan?). Coba bayangkan betapa media massa bisa menjadi media sosialisasi yang ampuh.

Dari pengamatan saya akan beberapa majalah dan tabloid yang isinya tentang teknologi informasi, sebagian besar masih menggunakan istilah komputer dalam bahasa Inggris. Namun ada salah satu tabloid yang nampaknya berusaha keras untuk menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia. Ada juga yang menggunakan istilah yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia dan menggunakan istilah Inggris untuk yang tidak umum.
Istilah yang sering digunakan secara salah adalah kata peranti. Seringkali istilah ini digunakan dalam "peranti lunak" dan "peranti keras", mestinya "perangkat lunak" dan "perangkat keras". Kata peranti menurut hemat saya adalah padanan dari kata "device".

Siapakah atau lembaga apakah yang semestinya berperan dalam mensosialisasikan istilah-istilah ini? Pusat bahasa, media massa, perguruan tinggi, atau kita semua? Silahkan anda komentari tulisan ini.

Saturday, May 07, 2005

Sumberdaya Manusia TI

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar. Dengan demikian negara ini kaya akan potensi sumberdaya manusia di segala bidang. Tak terkecuali sumberdaya manusia di bidang teknologi informasi. Kalau kita perhatikan, berapa banyak pengguruan tinggi yang memiliki fakultas, jurusan, atau bahkan sekolah tinggi yang khusus untuk bidang TI. Begitu banyak lulusan dari perguruan tinggi tersebut setiap tahun bahkan setiap semesternya. Mulai dari gelar diploma, sarjana, master, maupun doktor bisa diperoleh di dalam negeri. Belum lagi sertifikasi berbagai bidang keahlian TI yang banyak tersedia.

Apakah orang Indonesia memiliki sumber daya TI yang memadai? Menurut saya, banyak sekali orang-orang TI yang bahkan memiliki kepakaran tertentu di negeri ini. Memang belum begitu mendunia seperti orang-orang India atau Cina. Tapi saya yakin, orang Indonesia pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Coba saja sambangi milis-milis berbau TI. Dari sana kita bisa menyimpulkan, meski tidak akurat, bahwa ternyata banyak orang Indonesia yang jago TI. Tinggal lagi masalah peluang dan kesempatan.

Suatu saat, sumberdaya manusia TI Indonesia pasti juga akan mendunia. Peran pemerintah juga sangat diperlukan untuk mendorong kemajuan dan pemberdayaan di bidang ini.

Thursday, May 05, 2005

Sidik Jari Siapa yang Punya?

Masih ingat lagu yang ada kata-kata ‘Nona manis siapa yang punya?’ Kalau itu, gampang jawabannya, ada pada lagu itu sendiri. Tapi kalau terjadi tindak kejahatan pembunuhan atau perampokan, pak polisi sibuk mencari sidik jari pelaku yang tertinggal di TKP. Setelah ketemu beberapa sidik jari dan timbul pertanyaan seperti judul di atas, jawabannya akan sulit ditemukan.

Untuk mencocokkan sidik jari yang ditemukan di TKP, polisi tentu harus punya basisdata sidik jari penduduk. Apakah polisi memilikinya? Saya yakin, hanya sebagian kecil saja. Tidak semua penduduk terdaftar sidik jarinya di kepolisian. Jadi ada kemungkinan jika menemukan sidik jari di TKP, pak polisi tidak punya data pembandingnya.
Bagaimana solusinya? Biarlah anda gunakan nalar masing-masing.

Kita Bakal Punya SIN

SIN memang berasal dari bahasa Inggris. Tapi yang dimaksud di sini bukan yang berarti ‘dosa’ melainkan singkatan dari Single Identity Number. Dengan nomor identitas tunggal ini, kita tidak perlu memiliki beberapa nomor identitas seperti sekarang ini. Saat ini kita punya nomor KTP, nomor SIM, nomor paspor, NPWP dan lain sebagainya. Nantinya dengan SIN, kita hanya punya satu nomor identitas saja.

Aceh Bakal Dipasangi WiMax

Rehabilitasi pasca bencana tsunami di Aceh membawa hikmah tersendiri bagi dunia teknologi informasi di Aceh. Dalam waktu dekat akan dipasang infrastruktur WiMax di sana. Ini berkat bantuan dari Intel bagi Aceh. Sebetulnya perangkat tersebut mestinya sudah tiba dan mulai dipasang namun terhambat masalah perizinan.

Kabarnya teknologi yang digunakan belum WiMax yang sesungguhnya (loh?) tapi yang disebut Pre-WiMax atau dengan kata lain selangkah sebelum WiMax. Gelombang Pre-WiMax belum bisa menembus gedung melainkan hanya memantul saja. Namun demikian, daya jangkaunya sama-sama mencapai 50 km.

Kapan ya, seluruh Indonesia, minimal kota-kota besar akan dipasangi infrastruktur WiMax? Nampaknya masih sangat lama. Masih perlu banyak pembenahan di sisi peraturan, birokrasi dan lain sebagainya untuk memudahkan implementasinya.

Lagu Bagus Dewa

Saya tahu ini bukan isu baru tapi baru bisa punya kesempatan menulis tentang ini. Beberapa minggu terakhir ini masalah logo Dewa dari album "Laskar Cinta" hampir setiap hari dibahas di hampir semua tv swasta di Indonesia. Pihak FPI menuding keras penggunaan logo yang diambil dari kaligrafi yang bertuliskan Allah dan dipakai di album tersebut serta atribut-atribut konser Dewa.

Dalam salah satu dialog di sebuah tv swasta, sang reporter mempertanyakan kepada salah satu perwakilan MUI yang diundang ke dialog tersebut tentang keputusan MUI yang mengijinkan penggunaan logo tersebut sedangkan lagu-lagu Dewa kebanyakan bertema cinta pada lawan jenis. Saya sependapat dengan sang reporter, jika memandang album Dewa secara keseluruhan. Namun jika kita batasi permasalahan, tentu tidak bijak memandang album Dewa secara keseluruhan karena yang dipermasalahkan adalah album 'Laskar Cinta'. Mungkin lebih bijak kalau yang ditinjau adalah lirik lagu dalam album tersebut saja karena logo yang dipermasalahkan adalah logo dari album tersebut.

Wednesday, May 04, 2005

Susah juga jadi manusia

Sebagai mahluk Allah, manusia memiliki hak dan kewajiban.
Kalau masalah hak, tidak usah dibilang, banyak sekali kita diberi hak oleh Allah.
Yang jadi masalah adalah kewajiban kita. Secara garis besar kita memiliki kewajiban kepada Allah dan kewajiban kepada sesama mahluk Allah.

Seringkali kita lalai menjalankan kewajiban kita, terutama saya sendiri. Seringkali tatkala merenung sendiri, saya begitu sedih memikirkan betapa banyak kewajiban saya yang terlalaikan, baik kepada Allah maupun kepada mahluknya. Ini semua karena ketakmampuan mengatur diri sendiri. Bagaimana mau jadi pemimpin ya?

Semoga Allah selalu mengampuni saya dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Alangkah bahagianya jika selalu berada di jalan yang lurus itu. Jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Bukan jalan orang-orang yang Allah murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.