Monday, June 13, 2005

Ego diri, Persembunyian, atau Eksklusifitas

Para praktisi, akademisi, atau sekedar pengguna teknologi informasi biasa kerap kali menggunakan istilah-istilah teknis berbahasa Inggris yang kerap kali membingungkan orang 'awam'. Tak jarang, orang yang tidak mengerti istilah-istilah ini disebut sebagai gaptek, ketinggalan jaman, atau mengalami kesenjangan digital (digital divide). Dalam kesempatan bicara di muka umum, seminar misalnya, bahasa campuran Inggris-Indonesia pun sering digunakan. Semakin bingunglah orang awam. Ditambah lagi dengan pelafalan kata-kata Inggris yang 'kurang pas'.

Nampaknya kurang afdol jika tidak menggunakan istilah-istilah tersebut dan mau tidak mau memang mesti digunakan. Seakan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk mendidik masyarakat umum tentang teknologi informasi. Saya pernah membaca pengalaman seorang teman yang berbicara pada sebuah seminar TI yang hadirinnya adalah para siswa SMU. Para hadirin nampak tanpa ekspresi mendengarkan apa yang beliau sampaikan. Tak heran kalau hal itu terjadi. Memang harus kita akui bahwa komunitas TI seolah kamu eksklusif dengan segala jargon-nya.


Saya menganggap bahwa 'kaum TI' bertanggung jawab atas lambannya perkembangan TI di negeri ini. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah bahasa tersebut. Tidak semua orang menguasai bahasa Inggris dengan baik. Apakah kita harus menyalahkan mereka dengan kondisi tersebut? Tengoklah Jepang yang lebih memilih menerjemahkan ratusan ribu judul buku setiap tahunnya ke dalam bahasa Jepang. Begitu cintanya mereka dengan bahasa mereka meski tidak sedikit orang Jepang yang menguasai bahasa Inggris.

Dunia bisnis dewasa ini tidak bisa lepas dari teknologi informasi jika mau menjadi bisnis yang besar. Para pelaku bisnis tidak semuanya akrab dengan TI. Sering kali timbul ketidakselarasan antara bisnis dan TI karena 'kaum TI' tidak mampu berbicara dengan bahasa yang membumi yang bisa difahami oleh orang bisnis. Ini hanya salah satu contoh kasus. Masih banyak contoh kasus lain yang perlu kita cermati agar TI tidak dianggap sebagai barang ekslusif.

Fenomena apakah ini? Apakah penggunaan istilah-istilah Inggris itu memang menjadi jati diri kaum TI atau karena bersembunyi di balik ketidaktahuan yang berdalih bahwa istilah Indonesia itu aneh?

I can't give an answer. It's not very easy to give a right solution to this matter. We might have to change our point of view in the first place. The only thing I know is that I love my language more.

(Lah, kok saya ikut-ikutan pakai bahasa Inggris? Mungkin karena selalu bergaul dengan kaum TI. Atau mungkin karena saya sudah menjadi kaum TI itu sendiri?)

No comments: