Saya tahu ini bukan isu baru tapi baru bisa punya kesempatan menulis tentang ini. Beberapa minggu terakhir ini masalah logo Dewa dari album "Laskar Cinta" hampir setiap hari dibahas di hampir semua tv swasta di Indonesia. Pihak FPI menuding keras penggunaan logo yang diambil dari kaligrafi yang bertuliskan Allah dan dipakai di album tersebut serta atribut-atribut konser Dewa.
Dalam salah satu dialog di sebuah tv swasta, sang reporter mempertanyakan kepada salah satu perwakilan MUI yang diundang ke dialog tersebut tentang keputusan MUI yang mengijinkan penggunaan logo tersebut sedangkan lagu-lagu Dewa kebanyakan bertema cinta pada lawan jenis. Saya sependapat dengan sang reporter, jika memandang album Dewa secara keseluruhan. Namun jika kita batasi permasalahan, tentu tidak bijak memandang album Dewa secara keseluruhan karena yang dipermasalahkan adalah album 'Laskar Cinta'. Mungkin lebih bijak kalau yang ditinjau adalah lirik lagu dalam album tersebut saja karena logo yang dipermasalahkan adalah logo dari album tersebut.
Beberapa bulan lalu, ketika saya membeli kaset 'Laskar Cinta' dan mendengarkannya sepintas lalu, kesan yang saya dapat adalah bahwa album ini tidak punya 'rasa' seperti album-album Dewa di masa-masa awalnya. Sekilas terdengar kurang menarik bagi saya. Bahkan saya sempat membiarkan saja kasetnya nangkring manis di tempat kaset dan lebih memilih memutar lagu-lagu dari album rekaman lainnya. Suatu hari, karena bosan mendengar lagu-lagu yang itu-itu juga (maklum koleksi saya sedikit) akhirnya saya coba putar si 'Laskar Cinta' dan coba menelaah isi liriknya sambil mengemudi. Memang saya biasanya hanya mendengar lagu-lagu dari kaset ketika mengemudi dan kaset-kaset hanya ada di mobil.
Saya cukup tergelitik mendengar kata-kata dari lirik beberapa lagu yang menurut saya menceritakan tentang cinta yang dalam. Kalau boleh meminjam istilah anak muda sekarang dahsyat sekalee... Coba simak petikan dari lirik lagu "Hidup ini indah" berikut:
Matahari..menyinari seisi bumi...
Seperti Engkau...
Menyinari...pori dalam jasadku ini...
Selamanya...seperti hujan...
Kaubasahi jiwa yang kering
Reff:
Hidup ini indah... bila ku selalu...
Ada di sisiMu setiap waktu...
Hingga aku hembuskan nafas...
Yang terakhir...dan kita pun bertemu
Kau... bagai udara yang kurhirup
Disetiap masa...Engkaulah darah
Yang mengalir dalam nadiku.. Reff
Maafkanlah slalu...salahku
Karena Kau memang pemaaf
Dan aku hanya...Manusia...Reff
...Hanya Kau dan aku...Dalam awal dan akhir...
(ket: lirik asli semua ditulis dalam huruf besar)
Saya mulai menarik kesimpulan ketika mendengar bagian ...Hingga aku hembuskan nafas...Yang terakhir...dan kita pun bertemu... Petikan lirik ini menggiring pada dua pengertian. Yang pertama bisa berarti sang kekasih yang disebut 'kau' dalam lirik tersebut sudah meninggal dunia dan yang kedua sang kekasih hanya bisa ditemui ketika si 'aku' sudah meninggal dunia.
Ketika mendengar lagu itu saya teringat ketika pernah membaca buku-buku Tasawuf dan kisah-kisah para sufi. Para sufi biasanya mengungkapkan kecintaannya kepada Allah lewat syair atau do'a. Saya pernah membaca bagian yang mirip dengan potongan lirik di atas. Jelaslah kesimpulan saya bahwa 'kau' yang dimaksudkan di sana adalah Allah.
Jika kita lihat lirik lagu-lagu yang lain dalam album tersebut, mayoritas bersifat relijius. Hanya beberapa lagu saja yang tidak bernafas relijius. Mungkin memang Ahmad Dhani sedang memiliki suasana jiwa yang relijius ketika menulis lirik-lirik tersebut.
No comments:
Post a Comment